…Tidak seperti orang tuanya, anak-anak tidak menganggap bahwa perceraian sebagai kesempatan kedua, dan ini menjadi bagian dari penderitaan mereka. Mereka percaya bahwa masa kecil mereka telah hilang selamanya….tetapi sesungguhnya anak-anak yang hidup dalam perceraian memang memiliki kesempatan kedua di masa depan yang mereka khawatirkan…-Wallerstein & Blakeslee.
PERPISAHAN DAN PERCERAIAN
Keluarga adalah sebuah system support pertama yang dimiliki anak-anak, dan merupakan ikatan attachment yang dimiliki anak dengan orang tuanya, yang merupakan faktor pembentuk perkembangan rasa percaya pada anak. Ikatan ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mengembangkan kemampuan anak untuk mencintai dan dicintai, dan merupakan sentral dari perkembangan kepribadian yang sehat. Bahkan dalam perceraian yang tetap mampu memberikan attachment yang aman (secure attachment) sekalipun, perjalanan untuk mendapatkan perkembangan dan pertumbuhan yang sehat, tidaklah mudah dan lancar. Selalu ada hal-hal yang mengingatkan kembali anak pada konflik-konflik yang pernah terjadi dan membuat mereka menolak untuk menatap masa depan. Kemunduran ini merupakan reaksi yang normal bagi anak dalam rangka mencari tempat yang lebih aman saat mereka merasa tertekan. Begitu anak tumbuh dan berinteraksi dengan dunia sosial yang lebih luas, kualitas hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain dan hubungan dengan ayah dan ibu menjadi sangat penting dan akan terus berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak-anak membutuhkan dukungan dari keluarga dan orang lain yang penting bagi mereka untuk mengatasi kemunduran perkembangan yang kadang-kadang terjadi, dan untuk mengembalikan mereka pada perkembangan yang sehat yang sebelumnya telah dicapai.
Perpisahan dan perceraian merepresentasikan konflik situasional dalam keluarga yang semakin memperburuk konflik pada suatu tahap perkembangan yang mungkin sedang dialami anak sesuai tahap perkembangannya. Ketika sebuah keluarga terpecah, anak-anak biasanya mengalami kekurangan salah satu aspek pendukung untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang sehat, dan mengalami perasaan kehilangan yang sangat besar. Perasaan kehilangan yang berkaitan dengan perceraian sama dengan perasaan kehilangan yang berhubungan dengan kematian. Hal ini terkait dengan perubahan dalam ritme hidup yang akan berlangsung lama dan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari, juga dalam hubungan orang tua dan anak. Kehilangan adalah tema sentral dalam perceraian, sebagaimana terjadi dalam kematian; kehilangan kontak sehari-hari dengan salah satu atau kedua orang tua, kehilangan teman lama, sekolah yang sudah dikenal, tetangga, juga kehilangan kontak dengan keluarga yang lebih besar dari pihak ayah atau ibu, tergantung dengan siapa nantinya anak akan tinggal. Namun, tidak seperti kematian, walau bagaimanapun dalam perceraian masih terdapat pilihan dan walaupun merupakan sebuah krisis dalam hidup yang sangat khusus dan terus menerus melahirkan masalah-masalah baru, namun alternatif-alternatif penyelesaian yang baru pun dimungkinkan untuk dicapai.
REAKSI EMOSIONAL YANG UMUM TERHADAP PERCERAIAN
Bagaimana anak-anak bereaksi terhadap perceraian sangat tergantung pada usia mereka, tahap perkembangan, dan karakteristik kepribadiannya. Reaksi secara individual akan sangat bervariasi tergantung pada masing-masing anak, karena tiap anak hidup dalam lingkungan keluarga yang berbeda-beda, berbeda juga kelebihan dan kekurangannya, dan tergantung pada kebiasaan cara mereka mengatasi masalah. Persepsi terhadap rasa kehilangan interaksi dengan salah satu orang tua bukan hanya bervariasi antara anak yang satu dengan yang lain, tetapi juga dipandang secara berbeda oleh anak yang sama seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan usianya. Reaksi anak terhadap perceraian pada waktu perceraian itu terjadi juga berbeda dibandingkan dengan reaksi mereka beberapa bulan/tahun sesudahnya. Wallerstein dan Blakeslee (1989) menyimpulkan bahwa ” tidak ada seorangpun yang dapat memprediksikan dampak jangka panjang dari sebuah perceraian terhadap seorang anak berdasarkan reaksi anak tersebut pada saat perceraian baru saja terjadi”. Secara mengejutkan Wallerstein dan Blakeslee menemukan bahwa anak-anak yang menjadi sangat menyusahkan, penuh kemarahan dan tertekan pada saat perceraian terjadi, ternyata mereka dapat menerimanya sepuluh tahun kemudian.
Review dari berbagai literatur menemukan bahwa anak-anak menampilkan beberapa reaksi emosi yang umum terhadap perceraian. Pemahaman terhadap reaksi ini akan berguna dalam membantu anak melalui krisis pada awal-awal perceraian terjadi dan dalam mempermudah adaptasi jangka panjang yang harus mereka lalui terhadap perceraian itu sendiri.
1. Kesedihan akan rasa kehilangan keluarga
Wallerstein mengatakan, bagi anak, perpisahan atau perceraian orang tua secara emosional dapat disamakan dengan kematian orang tua. Anak tidak hanya menderita dan bersedih karena hilangnya kontak sehari-hari dengan salah satu orang tua, dan berkurangnya kontak dengan yang lain, tetapi juga bersedih karena kehilangan rasa aman dan kesejahteraan yang sebelumnya mereka rasakan dalam keluarga. Dalam respon kesedihan ini, termasuk didalamnya juga kebingungan, rasa marah, penyangkalan (tidak menerima kenyataan), tertekan, perasaan hampa dan tak berdaya.
” Ketika orang tuaku bercerai, aku sangat merindukan ayahku terutama saat makan malam. Aku selalu melihat kearah tempat duduk dimana biasanya ia duduk, aku merasa bahwa kini kami bukan sebuah keluarga lagi” – anak laki-laki, 10 tahun.
2. Cemas akan penolakan, diabaikan, dan perasan tak berdaya
Besarnya perasaan ditolak, biasanya disertai dengan keinginan untuk menyalahkan diri sendiri. Anak-anak menginterpretasikan orang tua yang meninggalkan rumah sebagai penolakan mereka untuk berada didekat anak-anak, dan bukan karena adanya permasalahan dalam perkawinan orang tuanya. Perasaan ini akan semakin besar saat tiba waktunya untuk berkunjung bagi orang tua yang meninggalkan rumah. Jika mereka tidak memenuhi janjinya untuk mengunjungi anak-anak, anak akan merasa ditolak dan merasa sangat tidak dicintai oleh orang tuanya. Anak-anak akan merasa bahwa orang tua yang bersama mereka sekarang juga akan melakukan hal yang sama suatu hari nanti. Mereka merasa sangat tidak berdaya untuk memperbaiki keadaan, untuk mencegah perceraian, dan untuk “memperbaiki ” keadaan orang tua mereka yang saling menyakiti.
“Ketika ayahku pergi, aku terus bertanya-tanya, akankah ibuku juga pergi?” – Anak laki-laki, 8 tahun.
3. Kemarahan
Anak-anak yang terjebak dalam proses perceraian, sangat marah kepada orang tua mereka karena hanya memikirkan kepentingan dan diri mereka sendiri, dan menempatkan anak-anak ditengah-tengah konflik yang mereka alami. Banyak anak mengalami konflik kesetiaan ketika mereka dipaksa harus memilih atau untuk ikut dengan salah satu orang tuanya. Anak-anak sangat menderita karena jika mereka memilih salah satu orang tua, mereka merasa berkhianat atau menghianati orang tua yang satunya. Beberapa anak tidak menampakkan kemarahan mereka, dan menyimpannya diam-diam didalam hati karena mereka tidak ingin membuat orang tuanya semakin kesal. Setiap anak memiliki perbedaan dalam mengekspresikan rasa marah, diantaranya dengan cara tempertantrum (rewel dan cengeng), tingkah laku agresif terhadap orang lain, atau perasaan tak berdaya menghadapi berbagai situasi. Strangeland dkk (1989), menemukan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua bercerai, dikatakan sangat marah pada ayahnya, memiliki masalah di sekolah, dan mengalami gangguan (sulit) tidur.
“..Aku rasa orang tuaku bertingkah seperti sepasang anak nakal yang sangat manja. Mereka bertingkah seperti bayi…mereka tidak peduli dengan perasaanku….aku hanya anak-anak” –Anak laki-laki, 8 tahun
4. Kepahitan (marah yang terpendam) dan rasa kesepian
Anak-anak biasanya akan mengalami perasaan pahit karena kemarahan yang terpendam, karena mereka tidak diajak bicara bahwa akan terjadi perceraian dan tidak adanya kesempatan untuk mendiskusikannya. Kurangnya komunikasi dalam hal ini seringkali diterjemahkan kedalam perasaan sepi karena hilangnya dukungan dari anggota keluarga, keluarga yang lebih besar dan teman-teman. Wallerstein dan Blakselee mengatakan bahwa hampir 50% keluarga yang mereka konsul, menunggu hingga terjadinya perceraian atau beberapa hari setelahnya untuk mengatakan kepada anak-anak bahwa orang tua akan bercerai. Hanya kurang dari 10 % dari anak-anak yang mereka teliti, memiliki orang dewasa yang memiliki empati untuk berkomunikasi dengan mereka sebelum perceraian diputuskan. Fakta lain yang cukup mengejutkan, ternyata kakek dan nenekpun sedikit sekali memberikan support pada saat anak-anak berada pada masa-masa kritis ini.
“Suatu hari aku pulang sekolah dan ibuku sudah tidak ada. Ayahku mengatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk bercerai dua bulan sebelumnya, tetapi hari itu mereka bertengkar dan ibuku memutuskan pergi sebelum kami pulang dari sekolah. Aku berteriak-teriak dan menangis. Aku sangat marah karena mereka tidak mengatakannya pada kami. Sampai sekarang aku masih merasakan kepahitan dan kemarahannya” –Anak perempuan, 12 tahun
5. Perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri
Anak-anak seringkali berpikir dan percaya bahwa jika mereka tidak dilahirkan atau jika mereka menjadi anak yang lebih baik, tentu orang tua tidak akan meninggalkan mereka. Anak-anak marah dan menyalahkan orang tu (yang tidak memiliki hak asuh) yang meninggalkan rumah dan menyalahkan orang tua (yang memiliki hak asuh), karena membuat orang tua yang lain meninggalkan rumah. Anak-anak menyayangi kedua orang tuanya, dan takut kehilangan mereka. Perasaan marah anak kemudian digeneralisasikan kedalam perasaan bersalah. Rasa bersalah yang disertai kecemasan dapat menyebabkan sejumlah reaksi emosi pada anak.
“...ibu mengatakan bukan aku yang menyebabkan perceraian terjadi, tapi aku tetap merasa mereka bertengkar karena aku” –Anak laki-laki, 9 tahun
6. Perasaan cemas dan dihianati
Karena anak-anak merasa cemas bahwa hidup mereka akan selalu terganggu oleh adanya perceraian orang tuanya, anak-anak akan selalu merasa tidak pasti mengenai masa depan mereka, dan tentang sebuah hubungan. Remaja-remaja tertentu memiliki kesulitan untuk mempercayai orang lain, takut menyakiti mereka dan merasa dikhianati oleh orang tuanya. Beberapa anak memiliki perasaan malu dan ragu, menarik diri dan takut untuk dicintai dan mencintai. Anak-anak yang lain menyimpulkan bahwa mereka tidak berharga dan tidak pantas untuk dicintai.
…” Ketika ayahku pergi, ibuku menangis sepanjang waktu dan mengurung diri di rumah. Lalu suatu hari ia bertemu seseorang dan kemudian berhubungan dengannya. Ibu meminta ayah membawa kami untuk pergi di akhir minggu, tetapi ayah mengatakan bahwa ia tidak bisa karena terlalu sibuk. Aku merasa sedih sekali karena tidak ada yang menginginkan kami bersama mereka” – Anak laki-laki, 12 tahun.
Untuk lanjutan artikel ini dapat dibaca di https://nsholihat.wordpress.com/2011/07/05/anak-anak-dan-perceraian-2-tugas-tugas-psikologis-yang-berkaitan-dengan-perceraian/