Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Artikel Koran’ Category


Webinar dengan Tim Penggerak PKK Kabupaten Tasikmalaya

Materi yang saya sampaikan adalah Pendewasaan Usia Perkawinan Anak: Perspektif Psikologi, Sosial dan Agama. Pemaparan materi saya, bisa disimak mulai pada menit ke 1.12.25.

Read Full Post »


Diskusi dengan Pers Mahasiswa Universitas Siliwangi Tasikmalaya, tentang Self Love Vs Insecurities

Part 1 https://www.youtube.com/watch?v=w5Lqj1DZ1uQ

Part 2 https://www.youtube.com/watch?v=6lUTtGPhILM

Part 3 https://www.youtube.com/watch?v=l_yK1GnOtlA

Read Full Post »


Diskusi tentang menikah dengan priangan.com

Read Full Post »


Tulisan ini saya terbitkan kembali, sebagai respon terhadap munculnya baligo-baligo foto mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang mulai marak lagi di jalan-jalan. Sumbang saran saja dan mengingatkan kembali kepada mereka yang akan bertarung agar bersiap secara mental baik untuk menang dan terutama untuk kalah. Semoga bermanfaat!

Gambar

Euphoria pemilu calon legislatif yang baru lalu masih menyisakan fenomena menarik mengenai kondisi para caleg yang gagal melenggang ke gedung DPR, baik daerah maupun pusat. Pemberitaan mengenai para caleg gagal yang menjadi jatuh sakit, stress dan depresi, bahkan bunuh diri, sungguh memprihatinkan. Kenyataan ini sedikitnya memberi gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya kondisi mental individu-individu yang pada 9 April lalu bertarung memperebutkan kursi anggota legislatif.

Terdapat beberapa sudut pandang yang bisa kita coba telaah untuk memahami kondisi para calon anggota legislatif yang gagal meraih suara untuk duduk tenang di gedung DPR. Disatu sisi, pekerjaan sebagai anggota legislatif dengan gaji besar, berbagai tunjangan, fasilitas, dan bahkan menurut kabar, besarnya peredaran uang yang mencapai ratusan juta rupiah dalam setiap kesempatan membahas kebijakan, adalah daya tarik yang luar biasa bagi siapapun untuk turut merasakan rasanya menjadi anggota DPR. Belum lagi status dan prestis sebagai anggota legislatif, terutama dengan kondisi tingginya jumlah pengangguran di negara kita, maka tidak aneh jika menjadi anggota legislatif adalah sebuah kesempatan yang sangat menggoda dan sulit sekali untuk diabaikan, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas memadai sekalipun. Karena itu, para caleg yang tidak menyiapkan mental untuk gagal, padahal mereka sudah bermimpi mendapat materi sedemikian besar, dan mengeluarkan materi yang juga tidak sedikit untuk membeli suara, menjadi mudah sekali terpukul dan mengalami syok ketika gagal mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Disisi yang lain, sebagai sebuah pekerjaan, anggota legislatif juga mensyaratkan berbagai kualifikasi agar seseorang pantas menyandang pekerjaan tersebut. Penguasaan terhadap berbagai bidang dan aspek yang mengatur seluruh perikehidupan masyarakat seperti ekonomi, hukum dan perundang-undangan, kesehatan, dan lain sebagainya sesuai dengan komisi-komisi yang ada di DPR, kemampuan komunikasi personal dan interpersonal, serta tentu saja kemampuan analisa sintesa dan pengambilan keputusan, adalah diantara kualifikasi yang idealnya dikuasai oleh mereka yang tertarik menjadi anggota legislatif. Di gedung DPR lah berbagai isu strategis yang akan berpengaruh dan menentukan kualitas hidup rakyat Indonesia, ditentukan. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka adalah suatu keharusan bahwa para anggota legislatif semestinya adalah mereka yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-masing baik secara intelektual maupun sosial. Namun uniknya, pertarungan memperebutkan kursi legislatif pada pemilu kita kemarin dan mungkin juga pada pemilu sebelumnya, bukanlah pertarungan kompetensi para caleg, tetapi lebih kepada pertarungan bagaimana menarik massa agar mereka mendapat suara. Harus diakui, tidak banyak mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah mereka yang memang pantas menyandang pekerjaan tersebut.

Hal menarik lainnya adalah bagaimana sikap para caleg gagal ini setelah pemilu legislatif berakhir. Mereka secara tidak malu-malu menarik kembali berbagai materi yang telah mereka berikan pada konstituennya sebagai imbalan untuk membeli suara. Di beberapa stasiun TV diberitakan bagaimana, pompa air yang disumbangkan untuk mushola, televisi, uang, bahkan rekening tabungan yang sudah mereka berikan kepada para pemilih mereka ambil kembali karena gagal meraih suara yang signifikan. Ini jelas fenomena yang sangat menggelikan, bagaimana secara kasat mata para caleg menggunakan materi untuk mendapatkan suara, seolah-olah mereka memang tidak memiliki hal lain yang lebih layak untuk dijadikan asset sebagai bukti kapabilitas mereka sebagai calon wakil rakyat. Dan ketika mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan, dengan tidak malu-malu mereka mengambil apa yang sudah diberikan atau tidak memberikan apa yang sebelumnya mereka janjikan. Jelas sekali pamrih dan tidak adanya ketulusan dari mereka yang mengaku calon wakil rakyat, untuk memberi kepada rakyat.

Fenomena-fenomena diatas, sedikit banyak mewakili gambaran para caleg yang materialistis, tidak memiliki kapabilitas memadai dan tidak punya ketulusan untuk memberi pada rakyat. Dengan kepribadian caleg seperti ini, maka tidak aneh jika kegagalan mereka duduk di gedung DPR akhirnya diikuti dengan berbagai gangguan kesehatan yang kemudian banyak diberitakan media, dan depresi adalah salah satu gangguan yang paling sering disebut. Jika saja para caleg ini adalah mereka yang sungguh-sungguh ingin mengabdi pada rakyat dan tidak materialistis, tentu jika rakyat tidak memilih mereka, apapun alasannya, mereka akan dengan besar hati menerima dan menghadapi kekalahan dengan lapang dada. Sehingga tidak perlu mengalami depresi berkepanjangan yang membuatnya harus menjalani perawatan baik medis maupun psikologis.

Depresi, jika terjadi pada orang normal adalah merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai-nilai, delusi ketidak pasan, perasaan tidak mampu dan putus asa. Kondisi terburuk mereka yang mengalami depresi adalah bisa terdorong untuk melakukan bunuh diri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya ketidak seimbangan neurotransmitter (zat penghantar dalam system syaraf) seperti serotonin (neurotransimitter yang mengatur perasaan), norepinefrin (neurotransmitter yang mengatur energi interest) dan dopamine (neurotransmitter yang mengatur minat) di berbagai bagian otak kita. Ada berbagai penyebab seseorang mengalami depresi, diantaranya adalah peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, perubahan kimia dalam otak, efek samping obat dan beberapa penyakit fisik. Disinyalir kurang lebih 5-10 persen masyarakat kita mengalami depresi.

Namun depresi memang unik, suatu pencetus depresi yang bisa menyebabkan depresi pada seseorang belum tentu bisa menyebabkan depresi pada orang lain, karena itu kualitas kepribadian seseorang sangat menentukan kecenderungannya untuk mengalami depresi atau tidak. Individu-individu yang rentan terhadap depresi adalah mereka yang memiliki kepribadian paranoid dan pesimis.

Salah satu kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang individu agar tidak mudah mengalami depresi adalah resiliensi. Resiliensi dalam psikologi adalah kapasitas positif individu untuk mengatasi stress dan bencana alam yang menimpa dirinya. Istilah ini juga digunakan untuk mengindentifikasi karakteristik dari resistensi seseorang dalam menghadapi kejadian-kejadian negatif yang mungkin terjadi didalam hidupnya. Secara sederhana, resiliensi (resilient/resilience) adalah kapasitas yang dimiliki seorang individu untuk mampu dengan segera mengatasi berbagai kejadian tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup (seperti, syok, mengalami kecelakan, dsb, atau hal lain yang lebih substansial), dan dengan segera mampu mengembalikan kondisi kepada keadaan semula seperti sebelum terjadinya hal yang tidak menyenangkan tersebut.

Resiliensi seseorang akan tampak pada kemampuannya dalam menghasilkan sesuatu meski berada pada situasi yang penuh resiko, kompetensi yang tetap konstan meskipun berada dalam situasi stress dan kemampuan recovery setelah mengalami trauma. Individu yang memiliki resiliensi yang baik, juga akan mampu melihat sisi positif dari bencana atau kejadian buruk yang terjadi pada dirinya. Beberapa faktor pribadi yang diidentifikasi dapat meningkatkan resiliensi seseorang adalah (1) memiliki kemampuan untuk mengatasi stress dengan cara yang sehat dan efektif (2) memiliki keterampilan penyelesaian masalah yang baik (3) memiliki dukungan sosial yang erat seperti keluarga dan teman (4) memiliki keyakinan bahwa ia dapat mengelola perasaannya dengan efektif, dan (5) memiliki spritualitas, sehingga mampu melihat hal yang positif dari setiap kejadian buruk dalam hidup.

Sebagaimana kualitas-kualitas pribadi yang lain, resiliensi juga dikembangkan dalam keluarga. Lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan memiliki aturan yang jelas, memiliki harapan yang tinggi dalam hal tingkah laku anak dan mendorong keterlibatan masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan keluarga, dikatakan dapat menghasilkan anak-anak yang memiliki resiliensi yang tinggi. Anak-anak yang dibiasakan untuk memiliki harapan yang tinggi mengenai sesuatu, diajarkan mengenai makna dan tujuan hidup, keterampilan menyelesaikan masalah secara mandiri, serta dibiasakan untuk mampu mengelola dirinya sendiri, akan terlatih dan terbangun resiliensinya. Anak-anak yang memiliki resiliensi yang tinggi, memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengalami depresi, mengkonsumsi rokok dan obat-obatan terlarang saat menghadapi masalah dibandingkan anak-anak yang rendah resiliensinya, hal ini berlaku juga pada orang dewasa. Mereka yang memiliki resiliensi rendah, memiliki kesulitan dalam mengelola emosi negatif dan menampilkan reaksi yang sensitif terhadap berbagai kejadian sehari-hari yang tidak menyenangkan (misalnya kehilangan orang yang dicintai). Mereka ini merasa bahwa kejadian buruk dalam hidup mereka tidak akan pernah berakhir, sehingga memilki kecenderungan untuk memiliki tingkat stress yang tinggi.

Selain dibangun dalam keluarga, lingkungan juga memegang peranan sangat penting dalam mengembangkan resiliensi seseorang. Karakteristik lingkungan tersebut adalah: (1) lingkungan yang memiliki institusi-institusi sosial yang menyediakan sejumlah fasilitas dan sumber daya untuk anggota masyarakatnya (2) konsisten dalam memegang norma sosial sehingga setiap anggota masyarakat memahami aturan-aturan apa yang membatasi tingkah laku mereka, dan (3) adanya kesempatan bagi anak-anak dan orang-orang muda untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sebagai sehingga mereka merasa diakui sebagai anggota masyarakat.

Terakhir, sungguh ironis, wakil rakyat yang semestinya berjuang untuk mensejahterakan kehidupan rakyat dengan segala kemampuan yang ada pada mereka, pada akhir pemilu legislatif justru melahirkan berbagai permasalahan yang biayanya lagi-lagi harus ditanggung oleh pemerintah, dan tentu saja rakyat Indonesia sendiri. Namun demikian, keterbatasan kita sebagai rakyat yang tidak bisa turut menyeleksi kualitas mereka yang mewakili kita di parlemen, akhirnya toh bisa tergantikan oleh pemilu legislative kemarin, sehingga kita masih bisa berharap mereka yang nantinya duduk di parlemen bukanlah mereka yang memiliki kecenderungan untuk depresi. Wallahu ‘alam bishawab.

 ganbatte3

Read Full Post »